Empat hari lalu (Senin, 4 Oktober 2021) dua orang petani meregang nyawa di perbatasan antara Majalengka dan Indramayu, tepatnya di Desa Kerticala, Kecamatan Tukdana. Kabupaten Indramayu. Mereka adalah korban konflik agraria yang ke-sekian. Mereka mati karena memperebutkan lahan tebu PG Jatitujuh. Lahan ini dulunya kawasan hutan yang dikelola oleh
Perhutani, dan sesuai ketentuan perundang- undangan, PG Jatitujuh wajib memberikan lahan pengganti. Tetapi lahan pengganti ini tidak pernah diberikan sampai habisnya masa HGU.
Selain kasus Kerticala Indramayu, belakangan ini kehebohan juga terjadi di Desa Bojong Koneng dan Cijayanti, kabupaten Bogor. Warga melawan perusahaan pengembang Sentul City yang mengusir warga karena dianggap telah merampas lahan milik Sentul City.
Kasus Kerticala menunjukkan bahwa konflik agraria sudah sangat membahayakan, di mana masyarakat lebih memilih jalan pintas untuk memperoleh tanah meski nyawa taruhannya. Kasus Sentul City selain memperlihatkan ketidak-adilan dalam penguasaan lahan, juga menegaskan bahwa konflik agraria yang terungkap ke permukaan adalah puncak dari gunung es.
Ini hanya dua cerita dari rentetan peristiwa konflik agraria yang tak kunjung henti dalam lima tahun terakhir. Data yang kami himpun dari lapangan menunjukkan dalam lima tahun terakhir telah terjadi 2.288 konflik agraria yang mengakibatkan 1.437 orang mengalami kriminalisasi, 776 orang mengalami penganiayaan, 75 orang tertembak, dan 66 orang tewas. Mereka adalah korban ketidakadilan struktural, tetapi pemerintah masih berkilah dan memberikan kesan seolah-olah mereka korban konflik horizontal. Padahal al-Qur’an telah mengingatkan melalui Surat al-Maidah ayat 32 : bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.
Tidak cuma itu, penguasaan tanah oleh segelintir elit oligarki semakin menunjukkan ketimpangan yang memperdalam jurang kaya-miskin yang ujung-ujungnya rakyat banyaklah yang menjadi korban dan mengalami ketidakadilan struktural. Sebanyak 68 persen tanah yang ada di seluruh Indonesia saat ini dikuasai oleh satu persen kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar. Sementara itu, di sisi lain, lebih dari 16 juta rumah tangga petani yang menggantungkan hidupnya dari bertani, masing-masing hanya menguasai lahan di bawah setengah hektar.
Berdasarkan data di atas, kami, Partai Ummat, menilai Presiden Jokowi telah gagal mengelola konflik agraria yang terjadi selama lima tahun terakhir yang menyebabkan meluasnya ketimpangan dan ketidakadilan di seluruh tanah air. Kami menyimpulkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan tanah di Indonesia sudah sangat parah. Konflik yang berakar pada perampasan tanah yang hampir merata terjadi di seluruh Indonesia sering tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan rakyat. Namun ironisnya, meskipun konflik agraria ini sudah sampai pada tahap yang sangat mengkhawatirkan di mana keutuhan bangsa jadi taruhannya, tapi belum ada tanda-tanda upaya penyelesaian yang komprehensif dan menyentuh akar masalah.
Pemerintah masih bermain-main dengan cara penyelesaian yang parsial, kagetan, bahkan tak jarang melibatkan aparat keamanan yang haram hukumnya dalam negara demokrasi. Cara pemerintah menyelesaikan konflik agraria selama ini tak ubahnya seperti mengobati kanker stadium lanjut dengan menempelkan koyo pada bagian tubuh yang sakit. Untuk menutupi wajah konflik agraria yang sudah pucat pasi digerogoti kanker ganas, mereka memoleskan lipstik di bibir untuk menyembunyikan kenyataan.
Yang lebih ironis lagi, di masa pandemi ini justru konflik agraria meningkat. Ini karena perusahaan besar memanfaatkan pandemi untuk melakukan ekspansi bisnis di wilayah pedesaan yang kondisinya tidak separah perkotaan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa khusus di masa pandemi ini (2020) terjadi peningkatan konflik agraria masing-masing 28 persen di sektor perkebunan dan 100 persen di sektor kehutanan dibandingkan tahun sebelumnya (2019).
Sebagai kekuatan politik bangsa, Partai Ummat merasa berkewajiban untuk memberi peringatan kepada pemerintah supaya jangan lagi bermain-main atau menganggap sepele konflik agraria yang sangat potensial menyalut kerusuhan sosial. Soal ketidak-adilan ini adalah soal distribusi lahan, bukan soal sertifikasi lahan. Dengan segala hormat, jangan lagi anggap bagi-bagi sertifikat sebagai solusi.
Atas dasar hal di atas, Partai Ummat dengan ini menyampaikan tiga tuntutan kepada pemerintah. yaitu:
1. Agar pemerintah segera membentuk Badan Otorita Reforma Agraria, yang merupakan
perintah dari Tap MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA dan PSDA);
2. Agar pemerintah segera mengumpulkan data penguasaan agraria yang valid dan terintegrasi.
3. Agar pemerintah segera mewujudkan “Peta Tunggal Agraria” dan road map penyelesaian sengketa agraria.
Selanjutnya, sebagai bentuk konkret partisipasi dan peran aktif Partai Ummat dalam upaya penyelesaian konflik agraria, Insya Allah Partai Ummat akan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Ummat, yang akan :
1. Memberikan bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang menjadi korban konflik agraria atau konflik struktural lainnya.
2.Memberikan pendampingan kepada anggota masyarakat mendapatkan sertifikat atau kepastian hukum dari lahan yang sudah digarap dan dikuasainya sangat lama.
Terakhir, Partai Ummat juga mengajak seluruh komponen masyarakat untuk turut mengawasi pelaksanaan Perpres No. 86/2018 tentang penyelenggaraan Reforma Agraria. (red Irwan)