MediaPATRIOT – Jakarta, 27 November 2021. Perayaan Hari Puisi Indonesia dilaksanakan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, tanggal 26 – 28 November Tahun 2021 dilaksanakan dengan protokol kesehatan ketat dengan agenda Seminar Internasional pada hari Sabtu, tanggal 27 November 2021, dimulai pada jam 9 pagi sampai 5 sore.
Maman S. Mahayana Sastrawan Indonesia sekaligus Ketua Panitia Perayaan Hari Puisi Indonesia mengatakan Seminar Internasional ini bertujuan untuk mengembalikan akar tradisi perpuisian Indonesia yang tidak terlepas dari masa lalu. Sebelum kita mengenal tulisan, masyarakat nusantara mengenal tulisan puisi. Sudah akrab dengan kehidupan penduduk kita seperti misalnya antara doa-doa, kemudian lagu Dolanan anak-anak, kemudian lagu Nina Bobo itu sudah sangat tua dikenal dan di dipraktekkan oleh masyarakat kita.
Hanya saja kebanyakan masyarakat kita menganggap itu bukan puisi, misalnya itu puisi ketika kita mengenal tulisan dalam bentuk puisi yang ditulis yaitu syair-syair. Itu sebetulnya transformasi dari bentuk pantun dan Nazam Arab, lalu lahirlah syair-syair. Inilah yang kemudian berkembang lebih dari 3 abad bertahan di wilayah nusantara sebagai sebuah reputasi literasi.
Masalahnya adalah bahwa dalam buku pelajaran sastra atau dalam banyak pandangan masyarakat dan pandangan para pengamat, sastra Indonesia itu sebagai sastra lama seolah-olah ada sastra lama dan sastra baru. Munculnya sastra yang baru seolah-olah mematikan yang lama padahal tidak juga. Dikotomi sastra lama dan sastra baru sebetulnya sudah tidak relevan, karena perjalanan sastra itu tidak diskontinuitas tetapi secara kontinyu ketika berkembang penulisan puisi dalam bentuk syair yang ditulis dalam bentuk huruf Romawi ekspresinya itu tidak hanya mengungkapkan pikiran dan perasaan tapi juga mengungkapkan pengalaman potret sosial dan filsafat bahkan juga geografi.
Itu semua ditulis dalam bentuk syair hanya tulisannya tulisan Jawi atau tulisan Rumi ketika Eropa atau Belanda memperkenalkan huruf latin dan kemudian diperkenalkan juga untuk mencatat perkembangan sastra kita. Itu muncul di surat-surat kabar dengan huruf latin tapi tidak penulisan huruf Jawi yang berkembang di masyarakat. Kemudian sastra lisan yang berkembang di masyarakat mati begitu saja karena hanya ada tulisan dengan huruf latin. Ini yang jadi persoalan, mereka hidup semua sampai sekarang syair, pantun, gurindam, peribahasa masyarakat masih hidup sampai sekarang, masih hidup bentuk penulisan dengan huruf latin yaitu dimulai tahun 1850-an. Sebetulnya juga mengambil bentuk-bentuk sastra dari sastra Melayu klasik.
Kesusastraan yang ditulis dengan huruf latin pertama sampai di Indonesia sampai sekarang berdasarkan huruf latin. Masalah yang perlu pelurusan sekarang bagaimana dengan bentuk puisi atau bentuk sastra yang muncul di media digital dia tidak dalam bentuk tulisan di kertas dalam bentuk huruf Jawi, tapi dalam bentuk digital YouTube video dan sebagainya. Munculnya puisi-puisi digital di media sosial tidak berarti juga puisi-puisi yang hidup di masyarakat dalam bentuk tertulis. Inilah yang akan kita cari benang merahnya. Bagaimana sesungguhnya perjalanan kita dari masa lalu dari tradisi lisan kemudian pengenalan tulisan dengan huruf Jawi dan dimulainya pengenalan dengan huruf latin sampai ke masyarakat memanfaatkan dunia digital, inilah tujuan dari seminar itu.
Penjelasan dari Maman S. Mahayana terkait sponsor-sponsor nya sepenuhnya itu dari pihak DKI Jakarta, tetapi masalahnya karena pandemi jadi dana itu dipotong lebih dari separuhnya. Akibatnya kami sekarang terpaksa meminta bantuan. Untuk sampai sekarang kami masih banyak hutang kepada beberapa pihak karena belum bisa membayar karena memang tidak ada dana, termasuk juga untuk para pembicara pada pengisi acara yang tampil sebagai narasumber. Tapi bagaimanapun seperti yang terjadi sebelumnya, biasanya para pembicara itu memahami kondisi kami sehingga bisa dibayar dalam sebulan. Kemudian mengenai pelunasan ini jadi masalah yang sedang kami hadapi.
“Harapannya pertama bahwa perlu ada kesadaran bersama bahwa puisi itu selain sebagai alat untuk merekatkan persatuan ke-Indonesiaan juga meneguhkan kembali semangat Sumpah Pemuda yang menghilangkan perbedaan ras, perbedaan suku bangsa, perbedaan agama. Dengan begitu puisi tidak hanya sebagai alat persatuan tapi juga alat penangkal ujaran kebencian dan menumbuhkan sikap toleransi, memberi penghargaan kepada perbedaan, dan sebagainya dapat menyemarakan kembali semangat Sumpah Pemuda melalui puisi.” Pungkasnya Maman S. Mahayana Sastrawan Indonesia. (red Irwan)