JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENJADI KEYNOTE SPEAKER DALAM WEBINAR FORWAKA DENGAN TEMA “MENGANGKAT MARWAH KEJAKSAAN MEMBANGUN ADHYAKSA YANG MODERN”

MediaPATRIOT – Pada Rabu 15 Desember 2021, Jaksa Agung RI Burhanuddin menjadi Keynote Speaker dalam Webinar Forum Wartawan Kejaksaan Agung (Forwaka) dengan tema “Mengangkat Marwah Kejaksaan, Membangun Adhyaksa Yang Modern” secara virtual dari ruang kerja Jaksa Agung di Gedung Menara Kartika Adhyaksa Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Hadir dalam webinar ini secara luar jaringan (luring) di Press Room Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yaitu Penasehat Forwaka Haris Fadillah sebagai Moderator, dan narasumber secara dalam jaringan (daring) yaitu Jaksa Senior/Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung Ranu Mihardja, Wakil Ketua MPR RI Asrul Sani, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, Praktisi Hukum/Ketua Advokat Perekat Nusantara/Koordinator TPDI Petrus Salestinus, dan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Dr. Suparji Ahmad.
Mengawali pemaparannya, Jaksa Agung RI atas nama pribadi maupun Pimpinan Kejaksaan menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Pihak Penyelenggara yang telah bekerja keras dalam menyelenggarakan kegiatan ini. Jaksa Agung RI menyambut baik dan mengapresiasi kegiatan webinar ini karena dapat menjadi sebuah sumbangsih riil pemikiran yang berasal dari kalangan insan pers, penggiat Anti Korupsi dan praktisi hukum dalam pembahasan peningkatan marwah Kejaksaan Republik Indonesia.
Jaksa Agung RI menyampaikan tema dalam webinar ini cukup menarik, yaitu berbicara tentang marwah maka kita akan sedikit banyak berbicara mengenai suatu kehormatan institusi, kehormatan dalam hal ini hanya dapat diraih dari bagaimana para insan Adhyaksa menggunakan kewenangannya secara baik dan benar serta berorientasikan pada penegakan hukum yang berkeadilan dan berkemanfaatan bagi masyarakat. Berkenaan dengan kewenangan, sebagaimana yang kita ketahui bersama peran Kejaksaan dalam proses penegakan hukum memegang peranan yang sangat penting, hal ini dikarenakan Kejaksaan merupakan pengendali perkara dimana asas dominus litis hanya dimiliki oleh seorang Jaksa.
Tidak dapat kita pungkiri sistem hukum di Indonesia lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, dimana penegakan hukum khususnya hukum pidana lebih dominan dipergunakan melalui sudut pandang punitif, saat ini hukum dirasa hampa tanpa memberikan manfaat berarti bagi masyarakat, khususnya kepada para pendamba keadilan dari kaum lemah, sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat lemah.
“Berlandaskan alasan tersebut di atas, maka muncul kegelisahan dari benak saya bagaimana cara mengubah paradigma penegakan hukum dalam menghadirkan tujuan hukum secara tepat dalam menyeimbangkan nilai dan norma baik yang tersurat maupun tersirat, dan untuk menjawab hal tersebut Kejaksaan telah membuat regulasi penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” ujar Jaksa Agung RI.
Jaksa Agung RI mengatakan aturan ini bertujuan untuk pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan keseimbangan, perlindungan serta kepentingan korban. Konsep pemulihan dalam hal ini juga bertujuan memberikan kedamaian yang sempat pudar antara korban, pelaku, maupun masyarakat. Oleh karena itu keadilan yang dilandasi perdamaian pelaku, korban dan masyarakat yang menjadi moral etik restorative justice karena pada dasarnya keadilan dan perdamaian merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan.

Selain itu, Kejaksaan juga sangat berkomitmen dalam hal penegakan hukum secara konsisten dan tegas serta tidak pandang bulu, khususnya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi, hal ini dibuktikan dengan penanganan perkara korupsi dengan klasifikasi big fish, di samping itu Kejaksaan telah melakukan terobosan hukum dengan penerapan tuntutan hukuman mati kepada terdakwa tindak pidana korupsi, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera sekaligus sebagai upaya preventif agar masyarakat tidak coba-coba melakukan perbuatan korupsi. Selain itu, penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi tersebut tidak hanya berorientasikan pada bentuk penghukuman secara badan saja, namun dalam hal ini Kejaksaan juga berkomitmen untuk mengembalikan kerugian negara yang timbul dari tindakan koruptif para pelaku.
“Menjaga dan meningkatkan marwah Kejaksaan juga harus didukung dan ditunjang oleh profesionalitas dan integritas para Jaksa, salah satu tugas dan agenda utama pada saat saya diberi mandat oleh Presiden untuk menjabat Jaksa Agung adalah memulihkan marwah institusi Kejaksaan yang mana salah satu faktor utama dalam upaya tersebut adalah dengan meningkatkan integritas dan profesionalitas disetiap individu insan Adhyaksa,” ujar Jaksa Agung RI.
 
Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran dan kebijakan saya sebagai upaya memulihkan marwah Kejaksaan sehingga di berbagai kesempatan saya telah menegaskan dan mengajak kepada setiap insan Adhyaksa untuk selalu mengedepankan integritas dan profesionalitas dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang, hal tersebut dikarenakan sudah seharusnya kedua karakter tersebut telah melekat dan tertanam di dalam setiap insan Adhyaksa. Jaksa Agung RI juga telah menegaskan bahwa integritas dan profesionalitas bukan hanya sekedar bicara maupun retorika, akan tetapi juga sebuah tindakan nyata, karena tanpa karakter yang bersifat elementer tersebut manalah mungkin keadilan yang hakiki dapat diwujudkan.
Jaksa Agung RI mengatakan, pada kesempatan yang baik ini, dengan mengucap syukur sebagaimana yang kita ketahui bersama undang- undang atas Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah disahkan, semoga perubahan undang-undang mampu memulihkan, menjaga marwah institusi Kejaksaan serta menciptakan penguatan kelembagaan yang lebih baik untuk mendorong Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang terdepan dan menjadi role model dalam penegakan hukum yang berkeadilan dan humanis. Berdasarkan hal ini ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan, yaitu:
Pertama, mempertegas penerapan asas single prosecution system bahwa kewenangan penuntutan harus tunggal dimana dalam hal ini Jaksa Agung merupakan Penuntut Umum tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), implikasi asas ini juga tercermin dari dicantumkannya JAM Pidmil pada Undang-Undang Kejaksaan akan semakin memperkuat kedudukan JAM Pidmil, sehingga kedepannya penyelesaian kasus dapat lebih terukur dan semoga tidak lagi disparitas penuntutan.
Kedua, melalui Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan diberikan peran untuk menggunakan dan mengedepankan keadilan restoratif sebagai salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan serta kebijakan leniensi. Prinsip keadilan hukum akan selalu menjadi hal yang utama dalam setiap upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan cara menimbang antara kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, serta menyeimbangkan yang tersirat dan tersurat berdasarkan Hati Nurani.
Ketiga, pengembangan kesehatan yustisial, ini menjadi salah satu poin penting, dimana permasalahan kesehatan rohani dan jasmani tersangka atau terdakwa sering dijadikan alibi untuk menunda proses penegakan hukum. Hal ini menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk menunda-nunda pemeriksaan. Oleh karena itu, Kejaksaan wajib menyelenggarakan kesehatan yustisial dalam bentuk pembangunan atau tata kelola rumah sakit Adhyaksa yang dapat mendukung penegakan hukum secara efektif dan efisien.
Keempat, kewenangan dalam pemulihan aset. Kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak. Keberadaan Pusat Pemulihan Aset memiliki legitimasi yang kuat melalui undang-undang ini.
Kelima, kewenangan pengawasan barang cetakan dan multimedia. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13- 20/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 bahwa Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melakukan pengamanan terhadap peredaran barang cetakan harus melakukan penyitaan atau tindakan hukum lain melalui proses peradilan. Mengingat perkembangan teknologi, maka tidak hanya barang cetakan namun juga harus diperluas kepada berbagai bentuk objek multimedia. Setiap tindakan pengawasan barang cetakan dan multimedia yang dilakukan oleh Kejaksaan harus melalui proses pengadilan baik melalui penetapan dan/atau putusan oleh Pengadilan.
Keenam, perlindungan Jaksa ini akan memberikan keamanan dan kenyamanan Jaksa beserta keluarganya terhadap adanya ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda.
Ketujuh, status Jaksa sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki kekhususan. Jaksa memiliki karakteristik khusus yang tidak dapat dimiliki oleh PNS. Jaksa harus dipandang sebagai profesi hukum, sebab selain harus memiliki keahlian dan keterampilan hukum, Jaksa juga harus berperilaku sesuai dengan standar mminimum profesi Jaksa, kode etik profesi, dan doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa.
Kedelapan, syarat usia menjadi Jaksa paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun, hal ini sebagai penyesuaian dari dunia pendidikan yang menghasilkan lulusan muda. Hal ini sekaligus untuk memberikan kesempatan karir yang lebih panjang.
Mengakhiri pemaparannya, Jaksa Agung RI berharap diberikan kekuatan, bimbingan, dan perlindungan kepada kita semua untuk senantiasa dapat memberikan kerja dan karya nyata yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan negara. (K.3.3). (red Irwan)